Dinas Pertanian Kota Palembang berhasil mengembangbiakkan dua jenis ikan sungai, yakni baung dan patin, dengan cara menggunakan metode penyuntikan hormon. Dengan cara seperti ini, para petani ikan di Kota Palembang dan sekitarnya bisa mendapatkan kedua jenis bibit ikan tersebut dengan mudah dan harganya terjangkau.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Pertanian Kota Palembang Masriadi, Rabu (4/2). Dia menjelaskan, pemerintah memiliki kawasan pembibitan ikan baung dan patin yang berlokasi di Kelurahan Soak Bujang, Kecamatan Gandus. Saat ini pengelola kawasan tersebut sudah berhasil mengembangkan ribuan bibit ikan yang siap tebar.
”Selama dua tahun terakhir ini kami terus melakukan uji coba pengembangbiakan. Akhirnya kami berhasil mengembangbiakkan kedua jenis ikan itu,” kata Masriadi.
Masriadi mengakui sampai sekarang Dinas Pertanian baru bisa mengembangkan dua jenis ikan. Meski demikian, bukan tidak mungkin akan dilakukan penelitian sekaligus uji coba terhadap jenis-jenis ikan yang lain. Dia juga menjelaskan, ikan patin dan baung tersebut sengaja dikembangbiakkan karena banyak dibutuhkan masyarakat sebagai konsumsi makanan.
Di kawasan pengembangbiakan pemerintah tersebut, kata Masriadi, terdapat sekitar 5.000 bibit baung dan patin. Menurut dia, pemerintah menerapkan metode penyuntikan hormon terhadap kedua jenis ikan tersebut sampai menghasilkan pembiakan sendiri.
Menurut dia, pengembangbiakan ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan petani ikan keramba di Kota Palembang dalam mendapatkan bibit. Selain mudah, petani ikan juga bisa membeli dengan harga yang lebih murah.
”Dalam sistem perikanan sungai, kendala yang terus dihadapi petani terkait dengan mahal dan sulit dalam memperoleh bibit ikan berkualitas. Pemerintah ingin membantu petani ikan dalam mengatasi persoalan ini,” katanya.
Dari sungai
Masriadi mengatakan, induk ikan baung dan patin yang dapat dikembangbiakkan di kawasan tersebut berasal dari tangkapan ikan Sungai Musi. Hal tersebut dilakukan agar karakter dan sifat peranakan yang dihasilkan nantinya sesuai dengan tempat pemeliharaannya, yakni di sepanjang keramba sungai.
”Perlu diketahui bahwa sebagian besar petani ikan di Kota Palembang dan sekitarnya ini kan menggunakan media sungai sebagai tempat membesarkan ikan dan keramba sebagai tempat penangkarannya,” katanya.
Bagi para petani ikan yang ingin mendapatkan bibit ikan patin dan baung, Masriadi mempersilakan untuk datang sekaligus membeli di Dinas Pertanian Kota Palembang. Untuk harganya, bisa dikonfirmasi langsung ke pengelola pembiakan.
Setelah baung dan patin, Masriadi menuturkan, dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengembangkan bibit ikan lele dan gurami. Sementara ini jenis lele dan gurami masih dipesan dari luar Palembang.
Sumber : Kompas (2009)
Selasa, 30 Maret 2010
Indonesia Jajaki Ekspor Lele ke Timteng
Indonesia sedang menjajaki ekspor ikan lele pengasapan (lele asap) ke sejumlah negara di Timur Tengah (Timteng), untuk memenuhi kebutuhan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen kelautan dan Perikanan (DKP) DR Victor PH Nikijuluw, Minggu (31/5), mengatakan, Indonesia sudah ekspor ke Singapura dan Malaysia hanya jumlahnya masih sangat kecil tidak lebih dari 1 ton per bulan.
"Kita akan jajaki pasar di Timur Tengah untuk mememuhi kebutuhan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di sana," kata Victor seusai membuka Bimbingan teknis (Bimtek) Pemberdayaan Tenaga Kerja Pengolahan dan Pemasaran di Purbalingga.
Ekspor ikan lele asap ke Malaysia dan Singapura dicukupi dari produsen di Bogor Jawa Barat. Namun, produsen ini masih disuplay dari Boyolali dan Yogjakarta. Dia berharap mengisi kebutuhan ekspor ke Malaysia dan Singapur bisa dipenuhi dari wilayah Banyumas termasuk Purbalingga. Disebabkan produksi lele di Bogor dan wilayah Jawa Barat pada saat tertentu masih kurang.
Penjajagakan pasar ikan olahan berupa lele untuk meningkatkan nilai ekspor, selama ini ekspor lebih pada ikan segar yang dipadatkan, ke depan mencoba hasil diversifikasi ekspor ikan. "Ikan lele itu kita belah kemudian dimasak dengan vile, dipacking dan diberi label merk dari Indonesia . Volume yang kita ekspor tidak bertambah, tetapi ada diversifikasi peningkatan kualitas ekspor ikan," kata Victor.
Ditambahkan, target nilai ekspor pada tahun 2009 ini justru dinaikan ketika dunia tengah mengalami krisis keuangan. Nilai ekspor tahun ini sebesar 2,8 miliar dolar AS, sedang sebelumnya pada tahun 2008 nilai
ekspor sebesar 2,6 miliar dolar AS. "Peningkatan nilai ekspor tidak dengan meningkatkan volume ekspor ikannya, tetapi disiasati dengan peningkatan diversifikasi dan kualitas ikan yang diekspor," jelas Victor.
Sumber : Pikiran Rakyat (2009)
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen kelautan dan Perikanan (DKP) DR Victor PH Nikijuluw, Minggu (31/5), mengatakan, Indonesia sudah ekspor ke Singapura dan Malaysia hanya jumlahnya masih sangat kecil tidak lebih dari 1 ton per bulan.
"Kita akan jajaki pasar di Timur Tengah untuk mememuhi kebutuhan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di sana," kata Victor seusai membuka Bimbingan teknis (Bimtek) Pemberdayaan Tenaga Kerja Pengolahan dan Pemasaran di Purbalingga.
Ekspor ikan lele asap ke Malaysia dan Singapura dicukupi dari produsen di Bogor Jawa Barat. Namun, produsen ini masih disuplay dari Boyolali dan Yogjakarta. Dia berharap mengisi kebutuhan ekspor ke Malaysia dan Singapur bisa dipenuhi dari wilayah Banyumas termasuk Purbalingga. Disebabkan produksi lele di Bogor dan wilayah Jawa Barat pada saat tertentu masih kurang.
Penjajagakan pasar ikan olahan berupa lele untuk meningkatkan nilai ekspor, selama ini ekspor lebih pada ikan segar yang dipadatkan, ke depan mencoba hasil diversifikasi ekspor ikan. "Ikan lele itu kita belah kemudian dimasak dengan vile, dipacking dan diberi label merk dari Indonesia . Volume yang kita ekspor tidak bertambah, tetapi ada diversifikasi peningkatan kualitas ekspor ikan," kata Victor.
Ditambahkan, target nilai ekspor pada tahun 2009 ini justru dinaikan ketika dunia tengah mengalami krisis keuangan. Nilai ekspor tahun ini sebesar 2,8 miliar dolar AS, sedang sebelumnya pada tahun 2008 nilai
ekspor sebesar 2,6 miliar dolar AS. "Peningkatan nilai ekspor tidak dengan meningkatkan volume ekspor ikannya, tetapi disiasati dengan peningkatan diversifikasi dan kualitas ikan yang diekspor," jelas Victor.
Sumber : Pikiran Rakyat (2009)
Rabu, 24 Maret 2010
Nasrudin, Bapak Lele Sangkuriang
Senin, 21 Desember 2009 | 10:19 WIB
KOMPAS/FX PUNIMAN
KOMPAS.com - Kecebong, anak kodok, muncul di kolam, membuat Nasrudin gembira karena dia mengira kecebong itu anak ikan lele. Kegembiraannya itu sirna dan dia tersipu malu ketika diberi tahu bahwa yang dikira anak ikan lele itu adalah kecebong. Kodok betina yang masuk ke kolam tanpa diketahui, bertelur dan menetas bersama dua indukan ikan lele betina dan seekor jantan.
Itu pengalaman pertama Nasrudin (61) sejak delapan tahun lalu saat belajar beternak ikan lele.
”Kecebong disangka anak lele. Ngerakeun pisan (sangat memalukan),” kata Nasrudin, menuturkan awal usahanya menjadi peternak ikan lele delapan tahun lalu, di Saung Pertemuan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Jaya Sentosa, awal November lalu. Saung itu berdiri di tepi puluhan kolam ikan lele yang terbuat dari terpal dan tembok di lahan seluas 12.000 meter persegi di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kini, dia tak lagi dipermalukan atas ketidaktahuannya. Nasrudin sudah tersohor berkat lele sangkuriang yang mulai dikembangbiakkan pada 2001. Dia mengawali usaha beternak lele dengan benih sekitar 100.000 lele sangkuriang yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.
Lele sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Induk betina (F2) berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985.
Petugas penyuluh pertanian dan perikanan setempat memberikan bimbingan beternak ikan secara benar. Berkat ketekunannya, Nasrudin berhasil mengembangkan ikan lele sangkuriang.
Dia kini sudah menjadi ”pendekar lele”, bukan saja mahir dalam membesarkan lele dengan jurus-jurus yang jitu, tetapi juga mampu mengobati lele yang diserang penyakit, seperti radang kulit, dengan obat herbal ramuannya sendiri. Obat ini diberikan cuma-cuma kepada yang memerlukan.
”Letkol”
Sejak 2005, dia menjadi pelatih bagi kelompok dari sejumlah daerah, termasuk sejumlah karyawan perusahaan swasta dan pemerintah menjelang pensiun yang ingin beternak lele. Namanya pun sohor menjadi ”Nasrudin Lele” dari Desa Gadog. Bahkan, kalangan pembudidaya lele dan warga setempat menjuluki Nasrudin dengan sebutan Bapak Letkol—akronim dari Lele Kolam yang dipelesetkan menjadi Letkol—sehingga dia kemudian disebut ”Letkol” Nasrudin.
Petani lele sangkuriang dari Desa Gadog ini kini lebih jauh berangan-angan membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran dengan memelihara lele. ”Budidaya lele tidak terlalu sulit, teknologinya juga mudah dan tiga bulan sudah bisa dipanen. Masyarakat kecil bisa membudidayakan lele di halaman rumahnya. Cukup dengan lahan minim, hanya dengan luas 1 meter x 1 meter, serta modal Rp 75.000 untuk bibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala kecil,” kata Nasrudin.
Dia tak segan-segan membagi pengetahuan memelihara lele secara benar kepada mereka yang ingin membudidayakan lele. Dia juga siap membantu mereka yang datang menimba ilmu di P4S Gadog tanpa dipungut biaya.
Sejumlah petugas penyuluh pertanian dan perikanan serta pakar perikanan pun mendukung kegiatan Nasrudin membudidayakan lele sangkuriang dan melakukan pelatihan. Dukungan ini membuat Nasrudin bersemangat dan bertambah yakin akan angan-angannya untuk menjadikan Desa Gadog sebagai sentra budidaya lele sangkuriang.
Bahkan, 7 September lalu, Nasrudin diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok (Gapok) Budidaya Ikan Lele Sangkuriang ”Cahaya Kita” untuk wilayah tengah Provinsi Jabar dengan pusat aktivitas di wilayah Kabupaten/Kota Bogor.
1,5 juta benih
Nasrudin yang puluhan tahun sebagai petani padi dan kemudian beralih menjadi pembudidaya lele ini, bersama kelompok pembenih lele sangkuriang yang tergabung dalam Gapok Cahaya Kita, ingin memproduksi sekitar 1,5 juta benih lele sangkuriang setiap bulan untuk memasok anggota kelompok budidaya lele sangkuriang yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang.
Dengan produksi benih sebanyak itu, kelompok budidaya/pembesar ikan lele sangkuriang diharapkan mampu memenuhi sebagian kebutuhan lele di wilayah Jakarta. Adapun kebutuhan lele di wilayah Jabotabek diperkirakan sekitar 75 ton sehari. Pemasoknya bukan saja berasal dari petani lele Jabar, tetapi juga dari Jawa Tengah.
”Saat ini boro-boro memasok ke Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Kota/Kabupaten Bogor saja kekurangan. Kami peternak lele sangkuriang di daerah Gadog dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru mampu memproduksi sekitar 3 ton per hari dari kebutuhan sekitar 10 ton,” kata ”Letkol” Nasarudin. Dari kolamnya sendiri, Nasrudin baru mampu memasok sekitar 2 ton per minggu kepada pelanggannya. Lele sangkuriang dijual Rp 10.500-Rp 11.000 per kilogram.
Masa depan budidaya lele cukup cerah. Apalagi, menurut Muhamad Abduh Nur Hidayat, anggota staf Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan lele akan dijadikan komoditas ketahanan pangan. Konsepnya kini sedang disiapkan. Ikan lele saat ini sudah digemari oleh kalangan bawah sampai atas. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat mempromosikannya dengan menikmati ikan lele di kampung lele Boyolali, Jateng, tahun 2007.
Andil pedagang tenda pecel lele di Jabotabek dan daerah lainnya cukup besar dalam meningkatkan produksi ikan lele. ”Sekarang lele juga dijual di restoran, bahkan sampai ke daerah Kalimantan Barat yang dulu tak suka ikan lele,” kata Muhamad Abduh Nur Hidayat, penasihat Gapok Cahaya Kita.
Lele sangkuriang yang dirilis sebagai varietas unggul oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri pada 2004 ini lebih cepat dipanen dibandingkan jenis ikan lainnya dan tahan penyakit. Ukurannya lebih besar dibandingkan lele jenis lain. Dua bulan sudah bisa dipanen. Rasa dagingnya juga lebih gurih dibandingkan lele jenis lain. ”Karena itu, tak heran kalau lele sangkuriang disukai konsumen,” kata ”Letkol” Nasrudin.
KOMPAS/FX PUNIMAN
KOMPAS.com - Kecebong, anak kodok, muncul di kolam, membuat Nasrudin gembira karena dia mengira kecebong itu anak ikan lele. Kegembiraannya itu sirna dan dia tersipu malu ketika diberi tahu bahwa yang dikira anak ikan lele itu adalah kecebong. Kodok betina yang masuk ke kolam tanpa diketahui, bertelur dan menetas bersama dua indukan ikan lele betina dan seekor jantan.
Itu pengalaman pertama Nasrudin (61) sejak delapan tahun lalu saat belajar beternak ikan lele.
”Kecebong disangka anak lele. Ngerakeun pisan (sangat memalukan),” kata Nasrudin, menuturkan awal usahanya menjadi peternak ikan lele delapan tahun lalu, di Saung Pertemuan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Jaya Sentosa, awal November lalu. Saung itu berdiri di tepi puluhan kolam ikan lele yang terbuat dari terpal dan tembok di lahan seluas 12.000 meter persegi di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kini, dia tak lagi dipermalukan atas ketidaktahuannya. Nasrudin sudah tersohor berkat lele sangkuriang yang mulai dikembangbiakkan pada 2001. Dia mengawali usaha beternak lele dengan benih sekitar 100.000 lele sangkuriang yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.
Lele sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Induk betina (F2) berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985.
Petugas penyuluh pertanian dan perikanan setempat memberikan bimbingan beternak ikan secara benar. Berkat ketekunannya, Nasrudin berhasil mengembangkan ikan lele sangkuriang.
Dia kini sudah menjadi ”pendekar lele”, bukan saja mahir dalam membesarkan lele dengan jurus-jurus yang jitu, tetapi juga mampu mengobati lele yang diserang penyakit, seperti radang kulit, dengan obat herbal ramuannya sendiri. Obat ini diberikan cuma-cuma kepada yang memerlukan.
”Letkol”
Sejak 2005, dia menjadi pelatih bagi kelompok dari sejumlah daerah, termasuk sejumlah karyawan perusahaan swasta dan pemerintah menjelang pensiun yang ingin beternak lele. Namanya pun sohor menjadi ”Nasrudin Lele” dari Desa Gadog. Bahkan, kalangan pembudidaya lele dan warga setempat menjuluki Nasrudin dengan sebutan Bapak Letkol—akronim dari Lele Kolam yang dipelesetkan menjadi Letkol—sehingga dia kemudian disebut ”Letkol” Nasrudin.
Petani lele sangkuriang dari Desa Gadog ini kini lebih jauh berangan-angan membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran dengan memelihara lele. ”Budidaya lele tidak terlalu sulit, teknologinya juga mudah dan tiga bulan sudah bisa dipanen. Masyarakat kecil bisa membudidayakan lele di halaman rumahnya. Cukup dengan lahan minim, hanya dengan luas 1 meter x 1 meter, serta modal Rp 75.000 untuk bibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala kecil,” kata Nasrudin.
Dia tak segan-segan membagi pengetahuan memelihara lele secara benar kepada mereka yang ingin membudidayakan lele. Dia juga siap membantu mereka yang datang menimba ilmu di P4S Gadog tanpa dipungut biaya.
Sejumlah petugas penyuluh pertanian dan perikanan serta pakar perikanan pun mendukung kegiatan Nasrudin membudidayakan lele sangkuriang dan melakukan pelatihan. Dukungan ini membuat Nasrudin bersemangat dan bertambah yakin akan angan-angannya untuk menjadikan Desa Gadog sebagai sentra budidaya lele sangkuriang.
Bahkan, 7 September lalu, Nasrudin diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok (Gapok) Budidaya Ikan Lele Sangkuriang ”Cahaya Kita” untuk wilayah tengah Provinsi Jabar dengan pusat aktivitas di wilayah Kabupaten/Kota Bogor.
1,5 juta benih
Nasrudin yang puluhan tahun sebagai petani padi dan kemudian beralih menjadi pembudidaya lele ini, bersama kelompok pembenih lele sangkuriang yang tergabung dalam Gapok Cahaya Kita, ingin memproduksi sekitar 1,5 juta benih lele sangkuriang setiap bulan untuk memasok anggota kelompok budidaya lele sangkuriang yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang.
Dengan produksi benih sebanyak itu, kelompok budidaya/pembesar ikan lele sangkuriang diharapkan mampu memenuhi sebagian kebutuhan lele di wilayah Jakarta. Adapun kebutuhan lele di wilayah Jabotabek diperkirakan sekitar 75 ton sehari. Pemasoknya bukan saja berasal dari petani lele Jabar, tetapi juga dari Jawa Tengah.
”Saat ini boro-boro memasok ke Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Kota/Kabupaten Bogor saja kekurangan. Kami peternak lele sangkuriang di daerah Gadog dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru mampu memproduksi sekitar 3 ton per hari dari kebutuhan sekitar 10 ton,” kata ”Letkol” Nasarudin. Dari kolamnya sendiri, Nasrudin baru mampu memasok sekitar 2 ton per minggu kepada pelanggannya. Lele sangkuriang dijual Rp 10.500-Rp 11.000 per kilogram.
Masa depan budidaya lele cukup cerah. Apalagi, menurut Muhamad Abduh Nur Hidayat, anggota staf Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan lele akan dijadikan komoditas ketahanan pangan. Konsepnya kini sedang disiapkan. Ikan lele saat ini sudah digemari oleh kalangan bawah sampai atas. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat mempromosikannya dengan menikmati ikan lele di kampung lele Boyolali, Jateng, tahun 2007.
Andil pedagang tenda pecel lele di Jabotabek dan daerah lainnya cukup besar dalam meningkatkan produksi ikan lele. ”Sekarang lele juga dijual di restoran, bahkan sampai ke daerah Kalimantan Barat yang dulu tak suka ikan lele,” kata Muhamad Abduh Nur Hidayat, penasihat Gapok Cahaya Kita.
Lele sangkuriang yang dirilis sebagai varietas unggul oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri pada 2004 ini lebih cepat dipanen dibandingkan jenis ikan lainnya dan tahan penyakit. Ukurannya lebih besar dibandingkan lele jenis lain. Dua bulan sudah bisa dipanen. Rasa dagingnya juga lebih gurih dibandingkan lele jenis lain. ”Karena itu, tak heran kalau lele sangkuriang disukai konsumen,” kata ”Letkol” Nasrudin.
LELE SANGKURIANG TEMBUS PASAR DUNIA
SUKABUMI, (PRLM).-Legenda Sangkuriang kini telah diabadikan menjadi spesies ikan lele. Jenis ikan yang diperkirakan mampu bertahan dari berbagai virus ternyata mampu menembus pasaran dunia. Persilangan genetika induk betina dengan jantan ke enam ternyata mampu menghasilkan benih ikan lele unggulan. Dari persilangan itulah, maka ikan lele jenis ini kerap disebut ikan Lele Sangkuriang.
Keunggulan jenis ikan lele dari hasil penangkaran Balai Budi Daya Air Tawar (BBAT) Sukabumi itu, ternyata lebih menguntungkan para peternak. Ikan lele ini, perkembanmgan lebih cepat dibandingkan jenis ikan lainnya. Para petani bisa memanen ikan lele dalam usia dua bulan.
Selain itu, lele Sangkuriang diyakini dari hasil analisis BBAT mampu bertahan hidup dari serangan virus. Penyakit yang kerap membayang-bayangi usaha para petani selalu menjadi problematikan usahanya.
“Jenis ikan lele Sangkuriang ini lebih tahan penyakit. Karena itu petani mulai melirik mengembangkanbiakan jenis lele Sangkuriang di kolam-kolamnya. Para petani yang sebelum kerap dikesalkan dengan penyakit dan jamur mulai serius memelihara Sangkuriang untuk mengembangkan usahanya,” kata Ahmad Jauhar ketua kelompok Ikan Balai Budi Daya Air Tawar kepada “PRLM”, Sabtu (31/1).
Walaupun bentuk ikan lele sejenis dengan lele dumbo. Namun dari ukuran dan kelezatan ikan lele Sangkuriang jauh berbeda. Lele ini lebih gurih dan memiliki ukuran lebih besar dibandingkan jenis lele lainnya. “Bila dimasak ikan ini lebih gurih. Apalagi dagingnya lebih tebal dibandingkan jenis ikan lainnya,” tukas Ahmad Jauhar. (A-162)***
Keunggulan jenis ikan lele dari hasil penangkaran Balai Budi Daya Air Tawar (BBAT) Sukabumi itu, ternyata lebih menguntungkan para peternak. Ikan lele ini, perkembanmgan lebih cepat dibandingkan jenis ikan lainnya. Para petani bisa memanen ikan lele dalam usia dua bulan.
Selain itu, lele Sangkuriang diyakini dari hasil analisis BBAT mampu bertahan hidup dari serangan virus. Penyakit yang kerap membayang-bayangi usaha para petani selalu menjadi problematikan usahanya.
“Jenis ikan lele Sangkuriang ini lebih tahan penyakit. Karena itu petani mulai melirik mengembangkanbiakan jenis lele Sangkuriang di kolam-kolamnya. Para petani yang sebelum kerap dikesalkan dengan penyakit dan jamur mulai serius memelihara Sangkuriang untuk mengembangkan usahanya,” kata Ahmad Jauhar ketua kelompok Ikan Balai Budi Daya Air Tawar kepada “PRLM”, Sabtu (31/1).
Walaupun bentuk ikan lele sejenis dengan lele dumbo. Namun dari ukuran dan kelezatan ikan lele Sangkuriang jauh berbeda. Lele ini lebih gurih dan memiliki ukuran lebih besar dibandingkan jenis lele lainnya. “Bila dimasak ikan ini lebih gurih. Apalagi dagingnya lebih tebal dibandingkan jenis ikan lainnya,” tukas Ahmad Jauhar. (A-162)***
Langganan:
Postingan (Atom)