SELAMAT DATANG DI BLOG FARM LELE SANGKURIANG DRAMAGA

MAAF UNTUK SEMENTARA LELE OFF DULU

animasi

Jumat, 17 Juni 2011

Menembus Ekspor Dengan Abon Lele

Ikan lele ternyata tak hanya dapat diolah sebagai menu masakan berkuah atau digoreng dengan bumbu sambal pedas. Di tangan Murti Rahayu, daging lele dapat dibuat abon dengan nilai ekonomi yang menggiurkan. Bahkan, abon lele buatannya kini mampu menembus pasar ekspor.

Awalnya coba-coba. Ternyata rasanya tak kalah sama abon sapi. Banyak orang suka," kata Murti, pengusaha kecil asal Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Selain dikenal sebagai daerah pertanian yang subur, wilayah Majenang sejak lama juga dikenal dengan perikanan daratnya. Air yang melimpah mendukung pengembangan usaha mina tersebut. Salah satu jenis ikan yang banyak dibudidayakan warga setempat adalah lele.

Namun, melimpahnya lele kerap tak ditunjang pemasaran dan kestabilan harga. Banyak petani lele pun jatuh bangun.

Kondisi tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi Murti yang juga menjadi Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Majenang. Pada pertengahan tahun 2007, dia terpikir membuat penganan olahan dari lele yang dapat dijual kemasan dan punya nilai ekonomis tinggi.

"Bayangan saya yang pertama adalah mengolah lele menjadi abon. Daging sapi saja bisa jadi abon, kenapa lele tidak," tutur ibu tiga anak ini.

Kebetulan, di rumahnya, sejak lama Murti membuka warung lesehan dengan menu aneka masakan ikan air tawar. Jadi, mengolah lele bukan hal baru.

Dibantu putri bungsunya, Indira K Paramita (29), Murti pun bereksperimen abon lele. Percobaan awal ini tak sepenuhnya berhasil. Sulit mengurangi tingginya kandungan minyak pada abon lele. Abon pun cepat tengik atau basi.

Selang beberapa hari, dia menemukan mesin pres tangan untuk mengurangi minyak. Sejak itu Murti berani menawarkan abon lele buatannya kepada teman dan tetangganya. Respons mereka positif. Abon lele Murti tak kalah dengan abon sapi.

Murti pun kian percaya diri. Tiga bulan setelah eksperimen, Murti mulai memasarkan abonnya yang bermerek Nazelia itu ke supermarket di Majenang dan Cilacap. Respons pasar lumayan. Dalam tiga hari abon lele itu ludes. Permintaan pun mengalir. Dia menjual abonnya seharga Rp 13.000 per satu kemasan plastik seberat 1 ons atau 100 gram.

Murti kian serius menekuni usaha abon lele. Selain celah pasar yang ada, usaha abon lele tak membutuhkan modal yang besar pada tahapan awal. Hal ini tak terlepas dari relatif murahnya harga ikan lele di Majenang.

Harga ikan lele hanya Rp 11.000 per kilogram (kg). Setiap kilogram menghasilkan 3 ons abon. Tiap 1 ons dijual Rp 13.000 sehingga keuntungan kotor tiga kali lipat. Keuntungan itu dikurangi biaya minyak goreng dan plastik kemasan. "Untung bersihnya 30-50 persen," ungkap Murti.

Selain dagingnya, kulit lele dimanfaatkan menjadi keripik. Namun, jumlahnya sangat terbatas. Dari 10 kg lele, hanya menghasilkan sekitar 15 bungkus keripik ukuran 100 gram. Keripik lele ini hanya jadi usaha sampingan Murti.

Tak sulit membuat abon lele. Daging ikan lele dibumbui seperti dendeng dengan ketumbar, merica putih, bawang putih, dan garam serta gula. Setelah direbus dengan bumbu hingga meresap, barulah digoreng kering.

Daging lele dipres hingga seluruh minyaknya keluar dan tersisa serbuk halus kecoklatan. Rasanya manis gurih dengan aroma bawang dan ketumbar yang kuat. Ada pula yang dicampur dengan bawang merah goreng, seperti lazimnya abon sapi.

Abon lele dikemas dalam plastik berlabel. Setiap saat bisa dinikmati. Dengan rasanya yang gurih, abon ini cukup ditaburkan di atas nasi atau ketan hangat sebagai lauk.

Hingga enam bulan pertama, kapasitas produksi abon lele Murti hanya 3 kilogram lele per hari. Namun, seiring permintaan yang terus meningkat dan pemasaran yang kian luas ke kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Semarang, dan Purwokerto, kebutuhan bahan baku lele pun terus bertambah.

Apalagi, setelah dia mampu membeli mesin pres dari Surabaya, Jawa Timur, seharga Rp 2 juta, Murti kian percaya diri memasarkan produknya lebih luas. Dengan mesin baru itu, kualitas abonnya kian tinggi. Saat itu izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan sudah dikantonginya. Sertifikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menyatakan bahwa abon lelenya halal.

Pada pertengahan 2008, Murti menjadi mitra binaan PT Pertamina Cilacap. Selain membantu permodalan melalui kredit lunak, badan usaha milik negara tersebut juga membantu pemasaran dengan cara memfasilitasi mitra binaannya mengikuti pameran-pameran.

"Saya sangat bersyukur bisa difasilitasi mengikuti pameran. Rasanya tak mungkin kalau ikut pameran sendiri karena biayanya sangat mahal. Buat ongkos transpor, sewa stan, dan akomodasinya tinggi," ujarnya.

Pameran produk kerajinan usaha kecil yang pernah diikutinya, di antaranya, adalah di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Keikutsertaan dalam aneka pameran tersebut sangat membantu Murti dalam memperkenalkan produknya kepada masyarakat. Pernah dalam sebulan dia mendapat kesempatan tiga kali pameran. Selain dapat memperkenalkan produknya, pada saat pameran Murti juga dapat menjual abonnya dalam jumlah lumayan besar.

Sayangnya, langkah kreatif Murti lewat abon lele itu kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Jangankan bantuan kredit, fasilitas mengikuti pameran pun tak pernah ada. "Pernah diajak pameran sampai pemda, tetapi semua biaya kami yang menanggung. Malah tombok. Padahal, katanya sudah ada dana dari APBD. Bukannya kami pelit, tetapi kami ini hanyalah perajin kecil. Toh, kalau produk kami dikenal, yang dapat nama pemda juga," katanya.

Sejak tahun 2009, produksi abon lele Murti rata-rata per hari menghabiskan 10 kilogram lele atau 500 kilogram lele per bulan. Pasarnya pun kian luas hingga Jakarta, Bandung, dan Denpasar.

Untuk 10 kilogram lele dapat diolah menjadi 3 kilogram abon. Dalam sehari, rata-rata Murti dapat menghasilkan penjualan kotor Rp 300.000-Rp 400.000.

Saat pameran produk-produk khas Nusantara di Jakarta pada pertengahan 2009, produk abon lele Murti dilirik konsumen luar negeri. Salah satunya seorang distributor makanan asal Belanda. Sejak saat itu Murti mulai dapat mengekspor abon lelenya ke Negeri Kincir Angin itu.

Dalam sebulan, rata-rata dia dapat mengekspor 10 kilogram abon lele ke Belanda. Ekspor tersebut dilakukan melalui distributor di Jakarta.

"Daging ikan lele mengandung protein dan rendah lemak sehingga bisa dikonsumsi oleh mereka yang berdiet lemak. Karena itulah, orang dari Belanda itu suka abon lele saya," katanya.

Sebenarnya, selain dari Belanda, ada permintaan abon lele dari negara lain. Namun, karena belum memahami prosedur ekspor dan modal yang terbatas, dia belum berani mengambil kesempatan tersebut.

Meski demikian, dia sudah sangat bersyukur dengan apa yang diraihnya saat ini. Dia tak menyangka abon lelenya yang dibuat dengan cara sederhana itu kini melanglang buana hingga ke Eropa.

"Jumlahnya, sih, memang belum banyak, tetapi saya sudah sangat senang karena abon lele saya disukai banyak orang, bahkan sampai di luar negeri," kata Murti.

Sumber artikel: (KOMPAS Online)

Senin, 17 Januari 2011

Salai Ikan LELE Jadi Komoditi Ekspor Di SumBar

Masyarakat Sumatera Barat sejak lama mengenal ikan salai, yaitu ikan yang dikeringkan lewat proses pengasapan. lkan salai cukup diminati, selain bergizi, rasanya juga lebih gurih dibanding ikan-ikan biasa. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat salai, tetapi yang paling disukai adalah salai ikan lele. Salah satu pembuat salai ikan lele di Sumatera Barat adalah Desfialti, dengan bendera CV. D.A. PABATA (Doa Amak Pambangkik Batang Tarandam) artinya “Karena Doa Ibu Bisa Mengangkat Kehidupan Yang Lebih baik”. Lajang Sarjana Perikanan yang sampai saat ini bekerja sebagai Asisten Luar Biasa di Laboratorium Biologi Universitas Bung Hatta mulai menggeluti usaha salai ikan pada 1989 dengan modal Rp 200.000,- untuk membeli pelet (makanan ikan) 50 kg dan bibit ikan lele 1.500 ekor.


Desfiaiti yang akrab disapa bu Efi, mendirikan usaha salai lele (limbek) ini untuk melestarikan makanan khas desa Palembayan yang makin jarang. Salai ikan lele ini memanfaatkan potensi ikan di Sumbar, sekaligus untuk menggerakkan para wanita nelayan & pengolah ikan di pantai Kota Padang, Pariaman, Agam dan Pasaman Barat. Soal harga jual ada dua macam, salai lele mentah (packing) seberat 300 gram dengan harga Rp 30.000, dan salai siap saji (packing) seberat 200 gram harga Rp 30.000.

Teknologi tradisional,

Pembuatan salai lele masih memakai alat tradisional, hanya proses pengasapannya memakai oven. Pertama-tama ikan lele disortir, kemudian dibelah sehingga berbentuk melebar, dibuang insang dan isi perutnya, lantas dicuci dan ditiriskan, diberi bumbu dan didiamkan selama 15 menit agar bumbu meresap. Ikan lele diletakkan secara teratur di atas alat terai yang terdapat didalam oven pengasap, dilanjutkan ke proses pengasapan selama ± 2 hari jam kerja dengan api kecil sampai lele kering dengan merata. Kemudian lele dikeluarkan dari oven dan dianginkan pada suhu kamar, setelah salai lele dingin lalu dikemas dengan menggunakan kantong plastik polyethylene dan karton dupleks yang sudah diprinting. Proses pembuatan salai lele siap saji, dan saiai lele mentah sama. Bedanya untuk salai siap saji dilanjutkan ke proses penggorengan dan pemberian bumbu. Sementara untuk limbah lele yang berupa insang dan isi perut dimanfaatkan sebagai makanan ikan dengan niiai jual Rp 1.500 per kg.

Pasar prospektif,

Dengan melihat potensi ikan yang cukup melimpah di Sumatera Barat, usaha pengolahan ikan seperti salai ini cukup prospektif. Salai lele Desfialti, kini pasar-nya tidak hanya di wilayah Sumbar saja, tetapi sudah merambah ke Pekan Baru, Jambi, Batam, Tanjung Pinang, Jakarta dan bahkan ekspor ke Malaysia dan sudah berjalan selama 3 tahun. Upaya untuk meningkatkan pemasaran, Desfialti sudah melakukan beberapa perubahan. Selain diversifikasi produk, adalah melakukan perbaikan kemasan dari kantong plastik PE ke Aluminium Foil. Begitu pula masalah desain lebih disempurnakan. Kegiatan promosi yang hampir tidak pernah di lewatkan oleh Desfiaiti adalah mengikuti pameran baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya pernah ikut pameran, Pesta Penang di Malaysia tahun 2005. Sedang untuk meningkatkan kemampuan SDM, Desfialti mengikuti berbagai jenis pelatihan teknis pengolahan ikan, manajemen, pemasaran, sistem mutu, kemasan dan lainnya. Pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan selain diterapkan pada usahanya juga disebar luaskan kepada perajin iainnya sehingga industri sejenis dapat berkembang dengan cepat Disamping itu untuk menjaga produk agar aman dikonsumsi Pabata menerapkan GMP dan sudah bersertifikat halal.

Memberdayakan masyarakat,

Pengolahan salai lele yang dikelola oleh Desfialti melibatkan masyarakat sekitar tempat usaha. Sekitar 177 kepala keluarga dianjurkan untuk beternak lele dan hasil panennya dibeli. Upaya lainnya adalah memberdayakan GWNPI (Gabungan Wanita Nelayan dan Pengolah Ikan) yaitu masyarakat yang tersebar dipesisir pantai Kota Padang, Pariaman, Agam dan Pasaman Barat, terbentuk dalam 3 kelompok yang memproduksi surimi sebagai bahan baku untuk pembuatan nugget ikan dan kerupuk ikan. Untuk meningkatkan keterampilan para anggota GWNPl, telah didatangkan instruktur dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) dengan biaya Swadana atas gagasan Desfialti. jerih payah dan perjuangan Desfialti membina dan mengembangkan industri kecil ikan salai diakui oleh Pemerintah Provinsi Sumbar, dengan diberikan penghargaan antara lain sebagai 1) Pemuda Pelopor Tk 11 Kotamadya Padang Tahun 1998, Bidang Kepeloporan: Pembangunan Industri Pedesaan (Ikan Salai)” dari Walikota Padang 2). “Pengusaha Kecil Berprestasi I tahun 1999 Sektor Industri Pertanian” dari Kakanwil Depkop Pengusaha Kecil dan Menengah Provinsi Sumbar 3). “Pengusaha Kecil Berprestasi Tahun 2000″ dari Meneg Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah RI dan 4). “Pengusaha Kecil dan Menengah Berprestasi Tahun 2002 Tk. Kota Padang” dari Walikota Padang.

Tujuh kendala,

Namun dalam kenyataannya selama ini usaha Desfiati menghadapi beberapa kendala, yang paling sering dialami antara lain, pertama pada musim kemarau panjang lele sulit didapatkan sehingga produksi terhenti. Hal ini bukan saja berdampak pada usaha Desfialti tetapi juga terhadap 177 KK sebagai peternak lele dan kelompok di GWNPI sebagai pembuat surimi tidak dapat berproduksi. Kedua, masih banyak perajin pengolah ikan yang hasil produksinya cukup baik tetapi belum dikemas dengan baik. Ketiga, keterbatasan peralatan yang tersedia (masih manual) sehingga mutu produk yang dihasilkan kurang baik terutama saat memproduksi dalam jumlah besar. Keempat; pemanfaatan potensi ikan di wiiayah Sumatera Barat belum diiakukan secara optimal. Padahal ini adalah merupakan keunggulan komoditi pangan atau pengolahan ikan Sumbar untuk memenangkan persaingan bisnis dimasa datang. Kelima, kesulitan untuk menembus pasar swalayan karena pembayaran secara konsinyasi bahkan walaupun produk sudah laku terjual tetapi pembayaran terlambat Keenam, belum memiliki showroom di Padang. Pemasaran di wilayah Padang terbatas hanya dititipkan pada toko-toko ternama penjual makanan khas Sumatera Barat seperti Christine Hakim, Sherly dan lainnya sehingga harga jual produk menjadi lebih tinggi. Ketujuh, Keterbatasan modal untuk pengembangan produk maupun investasi, sangat sulit untuk mendapatkan kredit dengan bunga lunak dan penyiapan agunan. (Elly Nirmafa/Boedi Sawitri)